Seorang teman baik di Singapore mengirimkan sebuah email berisi pujian terhadap posisi aliran dana asing di Indonesia yang masih bertahan di daerah positif dalam hitungan total 25 minggu terakhir. Setidaknya saya berbangga dengan fakta tersebut yang (turut) membuktikan pendapat tendesius nan keliru dari JP Morgan terhadap surat hutang di Indonesia. Tetapi biarkanlah pendapat tersebut terus hadir dan bersemayam dalam berbagai situs internet sehingga semakin banyak yang mengetahui kualitas dan posisi pandang analis JP Morgan terhadap Indonesia.
Terdorong dari pujian tersebut, saya coba melakukan riset kembali mengenai posisi aliran dana asing di Indonesia. Dari data yang saya dapatkan dana yang telah keluar dari Asia-6 (Indonesia, India, Thailand, Taiwan, Korea dan Philippines) sejak awal tahun telah mencapai USD 64 billion. Sedangkan Japan untuk periode yang sama telah kehilangan sebanyak USD 18.8 billion. Dari ketujuh negara tersebut, Indonesia adalah satu-satunya yang masih memiliki aliran bersih dana asing dalam posisi positif sebesar USD 1 billion. Terburuk dialami oleh Taiwan dan Korea.
Tetapi fakta di atas bukan berarti posisi Indonesia secara overall dapat dikatakan aman dalam setahun ke depan. Bila ditilik lebih dalam maka sebenarnya posisi Indonesia sedang dalam posisi riskan terhadap terjadinya krisis ekonomi. Mengapa demikian? Ada beberapa faktor yang memberikan indikasi tersebut.
Pertama, mengenai pertumbuhan real GDP di 2009. Dari sebuah riset dikatakan bahwa pertumbuhan real GDP hanya akan mencapai 3.5% di 2009 atau terendah sejak 1999. Ini menunjukkan bahwa aktifitas ekonomi akan segera merosot dalam beberapa bulan ke depan. Bila pertumbuhan rendah maka daya tarik investasipun akan memudar sehingga akan terjadi penghentian ataupun penundaan investasi asing. Hal yang sama terlihat dari posisi net foreign trade yang telah semakin menurun dibanding posisi awal tahun 2008 sebagai akibat dari krisis global.
Kedua, tingkat suku bunga 9.5% yang terus dipertahankan oleh Bank Indonesia merupakan keputusan yang tidak tepat. Dengan jatuhnya Consumer Price Inflation di Oktober maka semakin terlihat bahwa keputusan ini hanyalah untuk mempertahankan posisi Rupiah. Ironisnya nilai tukar IDR justru semakin merosot dari hari ke hari. Depresiasi sebesar 14% hanya dalam bulan Oktober 2008. Di sisi lain, suku bunga tinggi telah membuat pasar kredit semakin lesu dan membuat putaran ekonomi semakin melambat. Lalu apa manfaatnya? Apa yang terjadi bila nilai tukar semakin lesu? Intervensi saja tidak cukup. Sudah seharusnya titik tolak dari tingkat suku bunga adalah memperbaiki dinamika perekonomian domestik sehingga akan memberikan impact terhadap daya tahan perekonomian di sektor riil. Untuk itu diperlukan suku bunga yang cukup rendah.
Ketiga, keputusan Bank Indonesia untuk menerapkan kontrol terhadap pembelian mata uang asing adalah kurang tepat. Ini justru membuat pasar bergejolak dan membuat tekanan lebih besar terhadap posisi Rupiah. Lagipula Indonesia tidak memiliki pengalaman didalam capital control sehingga gejolak yang terjadi dapat melebihi antisipasi yang telah diperhitungkan. Dengan posisi one-month NDF pada 12,650 beberapa hari yang lalu, sudah seharusnya BI segera meninjau ulang keputusan tersebut. Tidak ada variable lain yang berubah secara signifikan dalam seminggu terakhir kecuali keputusan tersebut dan response pasar adalah sangat negatif.
Dari ketiga hal diatas, dua terakhir terkait dengan BI sebagai bank sentral Indonesia. Apa yang saya lihat adalah kesan bahwa beberapa kebijakan BI di dalam penetapan suku bunga dan stabilisasi Rupiah tidak matang dan seadanya. Saya khawatir bila BI tidak mampu koreksi diri untuk mengambil kebijakan yang memihak ekonomi riil maka kondisi mata uang kita akan sampai pada kondisi yang mengenaskan. Capital control seharusnya diimplementasikan secara berangsur pada kondisi ekonomi stabil dan sehat. Sebaliknya pada kondisi ekonomi yang tidak sehat maka keputusan capital control harus diimplementasikan secara menyeluruh pada saat yang bersamaan.
Kondisi nilai tukar Rupiah saat ini bukan studi kasus di ruang kuliah tapi fakta di lapangan yang menyangkut nasib orang banyak. Lihat fakta jangan berangan angan.
Sunday, November 16, 2008
Hari Begini Mainan Capital Control - Ajaib Tapi Nyata
Labels:
Bahasa,
Bank Indonesia,
Bank Sentral,
Capital Control,
GDP,
Indonesia,
Inflasi,
JP Morgan Chase
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
kondisi yang dihadapi oleh BI memang sebuah dilema, ketika mereka berusaha bertahan di suku bunga 9.5%, mereka dihadapkan dengan lesunya pasar kredit yang berujung kepada lesunya sektor riil, sementara penurunan suku bunga akan mengakibatkan capital outflow yang (dikhawatirkan) membengkak. Saat ini, mungkin karena posisi aliran dana asing yang masih positif, seharusnya BI bisa mengambil pilihan yang terbaik dengan cara menurunkan suku bunga setidaknya 0.25%. Saya setuju dengan anda, lebih baik memantapkan dahulu sektor riil, baru kita berbicara aset finansial.
thank's for the info, mr socrates
Post a Comment