Satu hal yang menjadi sorotan di kancah global ekonomi saat ini adalah wacana global currency. Wacana ini kembali hadir dalam intensi yang lebih kuat dari waktu yang lalu. Walaupun pembahasan bentukan dari global currency masih seputar Special Drawing Rights (SDR) ciptaan IMF. Mata uang global memang bagus untuk melemahkan peran USD di dalam transaksi keuangan internasional. Tetapi membayangkan hambatan, proses persiapan sampai dengan implementasi serta untung ruginya - rasanya agak skeptical bila ini dapat muncul dalam waktu dekat dengan risiko terendah.
Idealnya global currency harus dapat meredam volatilitas mata uang nasional maupun regional dan harus dapat memberikan benefit yang cukup kepada seluruh pelaku pasar global serta dapat dihadirkan dalam waktu yang singkat. Sekedar asal buat tentu saja mudah, semudah memutuskan besaran bailout di US. Persoalan akan muncul bila inisiatif ini benar2 secara serius diimplementasikan.
Pihak pertama yang akan menghambat lahirnya global currency adalah pemerintah dan institusi keuangan di US dikarenakan posisi mata uangnya yang saat ini digunakan sebagai mata uang utama di dalam mekanisme transaksi keuangan international. Kehadiran global currency akan menimbulkan risiko depresiasi USD baik langsung maupun tidak langsung dan dapat mementahkan kembali sebagian dari recovery program yang tengah dilaksanakan saat ini. Sehingga baik untuk kepentingan yang bersifat strategis/politis maupun ekonomi, maka US cenderung memperlambat terjadinya global currency ini.
Tantangan kedua akan datang dari pasar uang dimana pelaku pasar akan memanfaatkan moment implementasi tersebut untuk mengambil keuntungan dari perubahan valuasi mata uang utama seperti USD, Euro dan Yen. Suatu hal yang lumrah bila ini terjadi di pasar uang. Persoalannya bila ini diterapkan pada situasi krisis maka speculation attack yang dilakukan dapat menimbulkan dampak contagion/penyebaran. Sehingga akan terjadi situasi dimana mata uang yang di pegged terhadap USD (baik fixed maupun managed float) akan mengalami potensi kemerosotan seperti terjadi di 1998.
Ini pada akhirnya akan membuat pasar saham menjadi rentan terhadap capital withdrawal baik akibat penarikan dalam rangka mengurangi risiko maupun realokasi investasi. Situasi yang tidak kondusif ini akan menyebabkan pasar saham menjadi tidak likuid dan berpotensi mengalami penurunan secara gradual.
Dari dimensi yang lain, tingkat kesiapan masing masing anggota IMF terhadap perubahan tersebut sangat berbeda satu sama lain. Begitu pula tingkat kepentingan mereka terhadap keberadaan fasilitas IMF maupun global currency itu sendiri. Sehingga akan terjadi perang kepentingan yang akan menimbulkan pro dan kontra terhadap segala aspek dari pembobotan global currency itu sendiri.
Waktu yang terbaik untuk melakukan implementasi common currency sebenarnya adalah saat ekonomi global berjalan dengan stabil. Itu dapat dibuktikan dengan melihat perjalanan pembentukan Euro yang tergolong mulus lebih dikarenakan situasi ekonomi Uni Eropa pada masa tersebut dalam keadaan stabil. Pengalaman Uni Eropa juga membuktikan bahwa diperlukan waktu yang sangat panjang untuk menghadirkan mata uang tersebut.
Dilain sisi, patut dipertanyakan adalah masa depan dari global currency. Apakah ini menjadi tahapan awal pengganti mata uang nasional di seluruh dunia? Atau sekedar terbatas pada lingkup kecil? Bila terbatas hanya pada pengganti SDR maka sepatutnya penilaian time, cost dan benefit harus menjadi dasar pertimbangan utama - yang menurut saya, akan lebih baik untuk menunda pelaksanaan global currency ini terlebih dahulu.
Jika kita tarik kembali sejarah maka sebenarnya wacana seperti ini umumnya segera berlalu tanpa ada hasil yang nyata. Lihat saja di tingkat regional Asia, mulai dari rencana obligasi ASEAN, rencana mata uang Asia, ASEAN Bond Portal, berbagai fasilitas ASEAN+3 dan Asian Bond Fund - hampir semua hanya sebatas dialog, kebijakan dan implementasi terbatas. Tanpa pernah menjadi sesuatu yang secara kuat mengubah dimensi dari mata uang nasional dan pasar uang nasional.
Buat pemerintah Indonesia akan lebih baik untuk tidak ikut latah menyokong terjadinya global currency. Selama mata uang Indonesia masih lemah maka keberadaan global currency tidak akan membawa pengaruh besar. Apalagi bila global currency cuma sebatas fasilitas Special Drawing Rights. Lebih baik berupaya memperbaiki posisi tawar dari IDR sehingga kembali menguat dan stabil dalam jangka panjang.
Jika mau dan mampu, Indonesia seharusnya mengambil inisiatif membangun ASEAN Currency yang akan sangat bermanfaat bagi ASEAN dan khususnya bagi Indonesia. Sudah saatnya Indonesia kembali memimpin di ASEAN seperti dulu kala. Setuju?
Link terkait:
ASEAN Bond antara mimpi dan kenyataan
ASEAN Bond Portal – Wacana dan Realisasi
Monday, March 30, 2009
Latah Bicara Global Currency - Mimpi Disaat Krisis
Labels:
ASEAN,
ASEAN Bond,
asiabondportal.com,
Bahasa,
Global Currency,
IMF,
Indonesia,
Special Drawing Rights
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
saya setuju pemikiran mengenai perlunya penggantian dollar dgn global currency sehingga tidak perlu tergantung dengan dollar lagi
Kalau boleh saya katakan rencana Cina membawa wacana tersebut ke forum G20 pastinya lebih untuk kepentingan mereka sendiri. Obama juga tidak yakin ada keperluan untuk sebuah mata uang global.
om gimana kalau diganti dinar saja. kan katanya dinar itu lebih stabil, bebas krisis, dulu pernah terbukti. bener gak sih om?
Post a Comment