Ini merupakan cerita (agak) bersambung dari postingan saya terdahulu mengenai potensi krisis keuangan sistemik di kawasan global termasuk Indonesia dan kinerja BEI di akhir January lalu. Kembali saya bahas untuk melihat kembali seberapa besar kemungkinan indeks BEI mengalami penurunan dengan adanya krisis keuangan di US.
Kilas balik ke awal 2008, BEI dibuka pada indeks 2,739.59 per 3 January dan hari ini indeks ditutup 2,312.32. Turun sebesar 15.6% terhitung indeks pembukaan awal tahun. Bandingkan dengan indeks Hang Seng per hari ini yang telah turun 23.7% dari indeks pembukaan 2008, indeks di Singapore sebesar 19.35% dan Nikkei sebesar 22.22%. BEI seperti perbandingan di akhir January lalu, tetap mengalami penurunan yang paling rendah.
Pada model benchmark yang paling sederhana, apabila ditarik penurunan sebesar 19.35% atau setara dengan penurunan di Singapore (yang notabene memiliki market system yang solid, currency yang kuat, suku bunga rendah dan risiko capital outflow lebih kecil) maka indeks BEI adalah sekitar 2209. BEI tidak sekokoh Singapore, sehingga mungkin efek penurunan Hang Seng atau Nikkei yang lebih representative untuk dijadikan pembanding sederhana yang membawa pada angka 2100. Atau lebih rendah?
Biar ringkas, langsung saja kepada argumentasi saya bahwa perbedaan lebih dari 3 persen ini adalah efek dari bubble, bertahannya suku bunga BI di 8 persen dan stabilnya Rupiah di bawah 9100 untuk periode cukup panjang (walaupun saat ini sudah melambung di atas 9200). Ketiganya saling terkait dan saling mempengaruhi. Efek bubble tercipta akibat transaksi margin yang menjamur, ekspektasi investor yang berlebihan yang dipicu prestasi BEI di 2007 dan parkirnya sebagian global hot money di BEI secara sementara. Dugaan saya ini bisa saja keliru, waktu yang akan membuktikan benar tidaknya dugaan ini.
Skenario satu: terjadi krisis pasar keuangan di tingkat global dengan ditandai penurunan indeks dalam periode yang cukup panjang. BEI: Indeks akan turun drastic sejalan dengan terjadinya capital outflow dari dana asing dan lenyapnya kapitalisasi yang terjadi dari fasilitas margin (pada indeks yang turun terus maka fasilitas margin tidak menarik bagi pengguna dan terlalu berisiko bagi penyedia dana).
Skenario dua: Rupiah terus terdepresiasi (terutama akibat currency crisis di tingkat global dan naiknya inflasi). BEI: posisi fundamental perusahaan mengalami penurunan sehingga saham menjadi kurang menarik dibanding sebelumnya. Nilai investasi mengalami penurunan.
Skenario tiga: Tingginya harga komoditas utama dan minyak bertahan untuk periode yang lama. Inflasi tinggi. BEI: posisi fundamental perusahaan mengalami penurunan sehingga saham menjadi kurang menarik dibanding sebelumnya. Aliran dana investasi (pindah) ke komoditas meningkat.
Fakta yang ada sekarang di Indonesia adalah ketiga scenario itu berjalan bersama sama. Berapa jauh penurunan indeks bakal terjadi? 2100? Ingatkah anda kejadian 16 Agustus 2007 saat indeks terendah jatuh di 1863 dan ditutup pada hari yang sama di 1908.64? Periksa kembali harga saham di saat tersebut jadikan patokan anda.
Tuesday, March 18, 2008
Berapa Indeks Terendah BEI Pada Skenario Terburuk?
Labels:
Bahasa,
BEI,
Bubble,
Financial Crisis,
Inflasi,
Inflated Market,
Investor,
Pasar Modal,
Saham
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment