Pada kuartal pertama 2007, pemerintah Indonesia telah berhasil menerbitkan surat hutang negara dalam bentuk ritel yang disebut sebagai obligasi ritel Indonesia (ORI) seri kedua. Keberhasilan ini mendorong pemerintah untuk menerbitkan seri ketiga dari ORI yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat.
Nilai total ORI yang telah diterbitkan sebesar 3,2 trilliun rupiah yang dijual dengan batas minimal 5 juta rupiah. Kuatnya response dari masyarakat terhadap ORI pada dasarnya bukan merupakan suatu hal yang luar biasa mengingat ORI menawarkan suku bunga yang menarik dengan tingkat resiko yang jauh lebih rendah dari deposito bank.
Namun demikian, keberadaan ORI sebagai alat pemerintah untuk mengembangkan pasar obligasi ritel di Indonesia merupakan tanda tanya besar. Dilihat dari perspektif politikal ekonomi, ORI lebih cenderung merupakan alat politik pemerintah dalam meraih hati masyarakat ketimbang sebagai instrument baru di pasar keuangan untuk tujuan pengembangan pasar obligasi di Indonesia.
Alasan yang paling kuat adalah pemerintah tidak secara transparan menjelaskan rencana penggunaan dari dana yang dikumpulkan. Tanpa adanya suatu rencana yang jelas, maka ORI pada dasarnya akan menjadi beban baru bagi pemerintah, terutama pada saat jatuh tempo. Alasan lain, ORI tidak memiliki likuiditas yang baik karena tidak adanya pasar obligasi sekunder (dan ritel) di Indonesia. Sehingga akan sulit bagi masyarakat untuk memperjual belikan ORI dengan tingkat discount yang wajar, terlebih bila penerbitan ORI telah mencapai nilai yang cukup besar.
Ada pendapat yang beredar di kalangan pakar ekonomi di Indonesia yang mengatakan bahwa ORI akan menciptakan basis investor ritel yang lebih kuat berbanding dengan investor asing sehingga memperkuat daya resistensi pasar dalam menghadapi krisis keuangan seperti yang terjadi di tahun 1998.
Argumentasi di atas menurut saya terlalu ideal dan berlebihan bila kita menelaah kembali fakta bahwa total nilai ORI sangat kecil dibanding total nilai obligasi yang beredar di Indonesia. Fakta kedua adalah untuk mencapai basis investor ritel yang memadai maka faktor utama yang harus adalah pasar obligasi sekunder yang aktif dimana sampai dengan saat ini Indonesia belum memiliki fasilitas pasar sekunder dimaksud (termasuk perangkat legal dan kebijakan yang diperlukan). Fakta ketiga adalah total nilai pasar obligasi Indonesia masih relatif kecil dibanding dengan total nilai pasar saham – keduanya sebagai komponen utama pasar modal.
Menurut saya ada beberapa hal yang pemerintah harus lakukan saat ini agar pengembangan pasar obligasi ritel di Indonesia dapat berjalan dengan baik.
Pertama, pemerintah harus segera menciptakan perangkat dan fasilitas pasar obligasi sekunder. Sehingga keberadaan produk ritel seperti ORI menjadi lebih optimal dengan tingkat likuiditas yang tinggi.
Kedua, mengembangkan pasar sekunder MBS (mortgage-backed securities – dibahas pada seri kedua) dengan mendorong terciptanya “special agent” yang bertindak sebagai pionir dan motor dari penerbitan MBS di Indonesia.
Ketiga, menimbang kembali penerbitan ORI dan instrument obligasi ritel lainnya sampai dengan terciptanya pasar sekunder guna menekan tumbuhnya pasar informal obligasi ritel yang didorong oleh rendahnya tingkat likuiditas produk.
Friday, August 17, 2007
Pengembangan pasar obligasi ritel di Indonesia - Seberapa besar peran ORI? Bagian Pertama
Labels:
Bahasa,
Indonesia,
MBS,
Mortgage-backed Securities,
Obligasi,
ORI,
Pasar Modal
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment