Sunday, January 4, 2009

Sekuntum Bunga dan Surga Investasi

Apa yang menarik dari hingar bingar perekonomian, keuangan dan pasar modal Indonesia di 2008? Dari sekian banyak kejadian dan kebijakan penting maka suku bunga BI merupakan hal yang paling menarik bagi saya untuk ditelaah ulang. Pertanyaan mendasar yang perlu dipikirkan secara matang dan bijaksana oleh Bank Indonesia adalah berapa target suku bunga BI yang ideal di 2009 dari waktu ke waktu?

Seingat saya, momok terbesar yang membawa suku bunga BI tinggi adalah inflasi yang mendadak melonjak di pertengahan 2008. Kenaikan yang sebenarnya sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal dan uncontrollable, oleh BI dicoba untuk menjadi sesuatu yang dapat dikontrol. Di 2009, hampir semua negara maju berjuang keras melawan deflasi yang dapat memukul roboh perekonomian mereka. Bagaimana dengan Indonesia? Deflasi mungkin tidak akan terjadi tapi tingkat inflasi jelas akan mengalami penurunan tajam seiring melemahnya perekonomian dunia, jatuhnya harga minyak dan komoditas serta melemahnya daya beli konsumen.

Faktor kedua yang berperan penting terkait suku bunga tinggi adalah keinginan otoritas keuangan untuk membuat Indonesia sebagai tempat yang (selalu) nyaman untuk parkir dana asing. Ironisnya setelah Rupiah mengalami goncangan di kwartal terakhir 2008, maka ditetapkanlah kebijakan berbau capital control yang serta merta membuat depresiasi Rupiah semakin meningkat.

Apakah setelah saat ini USD/IDR "stabil" di 11,000 dapat dikatakan bahwa kebijakan tersebut berhasil? Andaikan kebijakan tersebut tidak ada, mungkin nilai tukar tetap stabil di kisaran 10,000. Di sisi lain, adalah wajar bila kita berharap kebijakan tersebut akan membawa kembali Rupiah ke level 9,000. Bila tidak, maka apa perlunya kebijakan berbau capital control tersebut ditetapkan pada saat yang tidak tepat? (Bila tepat, mengapa Rupiah terbang melebihi 13,000?)

Teringat pernyataan seorang professor di Jepang dalam satu seminar beberapa tahun yang lalu. Beliau mengatakan bahwa Rupiah mengalami semi permanent damage ketika terjadi krisis di 1998. Walaupun saat itu saya merasa tidak suka mendengar pernyataan tersebut tetapi pernyataan beliau adalah benar adanya. Kini dengan nilai tukar masih di atas 11,000 - apakah IDR akan mengalami semi permanent damage yang kedua? Bila dihitung dari 9,000 sebagai dasar maka total depresiasi adalah 22%. Lalu dengan situasi seperti itu, apakah Indonesia merupakan tempat yang nyaman untuk memarkir dana asing?

Apakah BI berani melakukan pemangkasan suku bunga secara drastis? Cukup dengan satu alasan yaitu membuka kembali kran kredit yang telah tersumbat habis selama beberapa bulan. Pasar kredit merupakan salah satu kunci utama untuk merangsang kembali sektor riil. Ini juga akan membawa harapan baru bahwa Rupiah akan kembali menguat ke 9,000 dan menghapus bayangan semi permanent damage yang kedua.

10,000 dulu baru 9,000 - tapi kapan? Ada yang tahu jawabannya?

1 comment:

Anonymous said...

kalo sektor riil yang akan menjadi andalan pertumbuhan ekonomi dengan membuka kembali kredit tentunya diimbangi penurunan suku bunga (seperti yang terjadi di Negara maju) tetapi apakah Indonesia siap dengan dampak inflasi yang bakal terjadi ? hehehehe ... sorry pak ini cuma nimbrung aja lagi belajar ikut prihatin dengan perekonomin Indonesia