Sunday, October 19, 2008

Moral Hazard dan Parodi Bernama Sarbox

Di tahun 1930 saat terjadi The Great Depression, posisi fundamental bank sebelum krisis adalah kuat dan solvent. Krisis perbankan meluas saat terjadi bank run dimana akibat kejadian tersebut bank menjadi kehilangan likuiditas. Hal ini diperparah dengan kebijakan otoritas keuangan yang pada saat itu tidak memberikan bantuan likuiditas sehingga perbankan menjadi bankrut. Sedangkan saat ini, posisi perbankan di US dalam keadaan tidak solvent dan secara fundamental sudah rapuh. Bedanya, otoritas keuangan US memberikan suatu jaminan bantuan likuiditas dalam jumlah significant kepada perbankan.

Dalam situasi dimana perbankan tidak solvent maka seberapa besar peranan bantuan likuiditas terhadap ketahanan sektor perbankan. Kita punya kejadian yang kurang lebih sama di tahun 1998 saat pemerintah melalui Bank Indonesia memberikan bantuan likuiditas. Hasilnya? Dalam sepuluh tahun seiring membaiknya kondisi ekonomi riil, maka kebijakan BLBI, implementasi corporate governance dan berbagai perbaikan sistem telah membuat perbankan Indonesia mencapai posisi fundamental yang lebih baik.

Tetapi, perlu diingat bahwa BLBI sendiri telah meninggalkan noda kotor pada sistem yang hingga kini tidak dapat dicuci bersih. Dengan kata lain, berapa besar dana yang menguap, tidak produktif dan (mungkin) kontra produktif, belum dapat dibuktikan. Kondisi yang sama terjadi di US dimana kebijakan bantuan likuiditas sarat dengan moral hazard, lemahnya corporate governance dan nuansa politis. Bukan tidak mungkin, akan terjadi noda kotor yang dapat mempengaruhi efektifitas pemulihan sektor keuangan di US.

Bila ditilik lagi kejadian sebelum krisis 98 maka sumber dari permasalahan di perbankan adalah moral hazard dan lemahnya corporate governance. Ini terjadi tidak hanya di Indonesia tetapi mewabah di seluruh Asia Timur dan Tenggara. Seakan akan moral hazard melekat pada bangsa di Asia.

Sekarang, kejadian berbau moral hazard justru terjadi di US yang dulu sibuk gembar gembor soal pentingnya corporate governance dan buruknya dampak dari moral hazard. Bedanya, potensi moral hazard justru terjadi bukan pada saat pengucuran kredt melainkan pada saat bantuan likuiditas digelontorkan kepada segelintir institusi keuangan. Akan kemana dana tersebut mengalir? Paulson sendiri menghimbau agar eksekutif perbankan menggunakan dana tersebut untuk menghidupkan kembali pasar kredit. Apakah himbauan saja dapat menebas habis faktor moral hazard?

Ingatkan anda tentang Sarbanes Oaxley Act atau Public Company Accounting Reform and Investor Protection Act of 2002 yang dikenal dengan sebutan SOX atau Sarbox? Reformasi Akuntansi dan Perlindungan Investor. Ternyata Sarbox dapat diabaikan begitu saja.

Dan ternyata moral hazard milik semua bangsa......

1 comment:

seekeroftruth said...

MAS BLOGNYA KEREN, SAYA AKAN JADI PENGIKUT SETIA BLOG MAS, TERUS DIUPDATE YA MAS BERITA2 MENGENAI PASAR MODALNYA, THANKS KALO BISA KITA BISA SARING MENGENAI RISET ALIRAN DANA ASING, KEBETULAN SAYA BERKECIMPUNG DALAM RISET INI LANGSUNG MAS,EMAIL SAYA aqua_myself@hotmail.com

best regards,
david