Wednesday, March 26, 2008

Goodbye Tokyo!!

Tidak terasa akhirnya saya harus meninggalkan Tokyo dan kembali ke Jakarta dalam beberapa hari lagi. Itulah keputusan bulat yang saya pilih setelah melalui berbagai pertimbangan panjang berbulan bulan. Begitu banyak rencana yang ingin saya lakukan dalam sepuluh tahun ke depan. Akhirnya, Jakarta pilihan terbaik untuk mengawali realisasi dari sebagian rencana tersebut. Pilihan yang sulit tapi inilah yang terbaik untuk saat ini.

Buat saya, Tokyo dan Yokohama sudah seperti kampung halaman sendiri. Hidup di Jepang selama lima tahun telah memberikan begitu banyak pengalaman dan pembelajaran bagi saya di dalam berbagai hal. Empat tahun pertama dari tahun 2000 sampai dengan 2004, setelah itu kembali ke Jakarta dan akhirnya kembali ke Tokyo di awal 2007 hingga akhir Maret 2008.

Di tahun 2000, saya dengan modal seadanya dan kenekadan yang luar biasa, mencoba untuk menjadi daytrader. Nekad karena saat itu kemampuan bahasa Jepang saya masih sangat terbatas, jangankan untuk baca investment prospectus, komunikasi sehari-hari saja masih terkendala. Waktu itu yang ada di pikiran saya, sambil kuliah coba peruntungan di Nikkei – bursa saham Jepang. Seandainya rugipun, toh masih ada scholarship yang datang setiap bulan. Dalam kondisi terburukpun, saya juga masih bisa makan gratis karena masih kerja sebagai part-time waiter di sebuah restoran besar.

Walaupun hanya berlangsung selama setahun, akhirnya saya berhenti jadi daytrader karena bosan. Indeks Nikkei saat itu merosot dari hari ke hari, fluktuasi pasar kecil, monoton dan tidak ada gairah. Namun, dari situlah awal saya mengenal pasar keuangan dunia, berinteraksi dengan trader ulung dan mengenal lebih baik korporasi di Jepang. Sisanya, hari hari saya dipenuhi dengan penulisan disertasi. Dari situ pula, tekad saya menjadi ekonom global menguat dan mengental. April 2004, saya kembali ke tanah air.

Selama tiga tahun di Jakarta, saya terus mengamati berbagai berita di seputar keuangan dan investasi Jepang. Cerita dua sosok tenar Jepang yang harum di masa saya berada di Jepang berakhir dengan episode tragis dan menjadi kisah hitam di dunia investasi dan keuangan Jepang. Yoshiaki Murakami yang dikenal oleh kepiawaiannya sebagai activist fund manager, akhirnya jatuh di dalam kasus jual beli saham dan asset Hanshin kepada Hankyu. Horie sang pendiri Livedoor, terbukti bersalah dalam kasus transaksi saham Livedoor di bursa Nikkei.

Namun demikian, kasus Murakami menjadi inspirasi bagi beberapa fund management dunia untuk mengambil pendekatan balance sheet dalam akuisisi berbagai perusahaan limbung di Jepang. Horie menjadi simbol keganasan dan kecerdikan entrepeneur muda Jepang dalam mengemas dan memoles nilai perusahaan melalui berbagai manuver di bursa saham. Dalam tiga tahun itu pula, saya berkecimpung di beberapa perusahaan telco sebagai strategic advisor dan kemudian terlibat berbagai proyek akuisisi, fund raising dan investment partnership di telco dan pertambangan. Unik, karena telah membuat saya paham bahwa warna yang dapat mewakili M&A hanyalah abu abu.

Maret 2007, saya kembali ke Tokyo, selama setahun ini, saya menyaksikan hal yang kontras di dalam perekonomian Jepang. Bangkitnya property di Jepang, inflasi yang bergerak naik, kembalinya Yendaka alias penguatan Yen secara signifikan dan munculnya krisis keuangan global. Laju indeks pasar saham ibarat roller coaster yang dapat menukik tajam untuk terbang setinggi mungkin dan kembali tenggelam, terus menerus tiada henti dari hari ke hari. Semua bergerak cepat, ketidak pastian menjadi hal yang lebih pasti dan umum di berbagai aspek perekonomian Jepang. Dari situ pula, saya menjadi paham sepenuhnya bahwa bukan kebenaran mutlak yang menjadikan seseorang menjadi ekonom global yang bijak tetapi keberanian untuk menganalisis, mengambil kesimpulan atas berbagai fakta dan memberikan prediksi ke depan yang akan menentukan keberhasilan. Dengan kata lain, berani untuk dikatakan salah, berani untuk mengakui kesalahan dan berani untuk belajar dari kesalahan.

Selama setahun pula, saya kenal dan menghabiskan waktu dengan generasi yang jauh lebih muda dari saya, mereka, para professional muda yang bergelut di investment bank, venture capital, fund management sampai dengan entrepreneur di dunia digital. Dengan penghasilan yang mampu mencengangkan (bahkan) kaliber eksekutif di Indonesia, mereka mampu menancapkan kaki Indonesia mereka di berbagai korporasi kaliber dunia dengan posisi yang strategis. Bersama tiga teman baik, saya berkesempatan pula mengadakan networking party di akhir 2007 bagi kalangan eksekutif muda keuangan dan investasi di Tokyo, yang dihadiri berbagai sosok professional dari berbagai negara. Sungguh luar biasa, karena kami sebagai founder dan organizer acara, semuanya adalah orang Indonesia dan acara tersebut di sponsori oleh Robert Half, head hunter kelas dunia yang fokus di dunia keuangan dan investasi. Dari situ pula, saya percaya bahwa networking merupakan hal paling penting di dalam membawa satu tumpuk kertas berisi kalkulasi dan ide investasi untuk terwujud menjadi satu proyek investasi besar sebagai ladang kehidupan ribuan orang.

Akhirnya, diantara rasa sedih meninggalkan Jepang dan rasa kangen dan bahagia akan segera berjumpa keluarga (dan makan tempe goreng tepung kesukaan saya) – saya bersyukur kepadaNya atas segala kesempatan dan pengalaman yang saya peroleh. Terima kasih Tuhanku.

5 comments:

Anonymous said...

Selamat jalan bang Rudi...
Nggak jadi dibawa kesini keluarganya.
Ken dan Ken nggak jadi ketemuan dong...
Suksdes terus di Indonesia.

Dian - Makuhari

Anonymous said...

Pak Rudi, you are blessed karena tidak semua orang berkesempatan untuk merasakan menjadi warga negara global, to see more and understand more. Nikmati sensasi saat pesawat landing di bandara Soekarno-Hatta setelah perjalanan panjang dari Jepang. Buat saya, itulah kebahagiaan tersendiri walaupun nanti dihadang kemaceten rutin di Jakarta. So, welcome home.

Socrates Rudy Sirait, PhD said...

Hallo Dian...
Thanks udah mampir di blog gue..
Ya nih... belum jadi ketemuan deh.. moga2 kapan ke Jepang dan bawa keluarga, bisa ketemu ama Dian sekeluarga...

Sukses selalu juga

Socrates Rudy Sirait, PhD said...

Thanks pak Toni...
Sensasi saat pesawat landing di bandara selalu dibarengi rasa terenyuh, melihat kondisi airport kebanggaan kita yang semakin lapuk dimakan jaman.
Memang betul, biar bagaimanapun kembali ke tanah air selalu membawa kebahagian sendiri.

Anonymous said...

welcome back to the jungle
salam kenal