Episode menegangkan kembali lagi terjadi di pasar saham US pada perdagangan Jumat lalu. Dengan jatuhnya indeks Dow hampir 400 points dan turunnya indeks Dow, S&P serta Nasdaq lebih dari 3% dalam satu hari maka kemungkinan terjadinya skenario terburuk di pasar global kembali diperhitungkan. Ada tiga faktor pemicu kejadian di Jumat lalu, buruknya informasi statistik yang menggambarkan tingkat output dan permintaan di pasar riil, kenaikan inflasi yang tinggi dan melonjaknya harga minyak dengan potensi menuju USD 150.
Satu argumentasi yang kontroversial mengenai kenaikan harga minyak adalah potensi terjadinya peperangan antara Israel dan Iran sebelum berakhirnya pemerintahan Bush. Ini menarik karena argumentasi ini disampaikan oleh ex menteri luar negeri Jerman. Tapi mari kita kesampingkan dulu argumentasi yang satu ini, terlalu kontroversial dan mengundang perdebatan tak tentu arah.
Mari kita fokus dalam beberapa hal yang terkait dengan nasib pasar ekuitas global dan tentu saja nasib pasar saham di Indonesia dari status pasar keuangan dan perekonomian US saat ini. Pertama, bagaimana status krisis pasar perumahan di US? Dari data statistik yang ada, pasar perumahan masih bergejolak walaupun sebagian ekonom di US mengatakan bahwa titik terendah telah terlewati. Namun, tanda-tanda menuju perbaikan yang signifikan belum terlihat.
Kedua, bagaimana dengan status dari credit crisis di US? Beberapa berita terakhir yang menyangkut institusi keuangan kelas dunia masih berkisar rencana write off dan kerugian yang jumlahnya sangat besar. Sejumlah institusi besar bahkan mendepak nahkoda mereka demi menciptakan image dan suasana yang lebih kondusif ke arah perbaikan kinerja. Laporan IMF juga mengatakan bahwa potensi kerugian sebesar USD 1 trillion masih mungkin meningkat seiring dengan waktu.
Ketiga, kenaikan harga minyak. Bila kita perhatikan maka dalam kurun waktu lima bulan terakhir, pasar ekuitas global selalu mengalami kontraksi di saat terjadi lonjakan harga minyak. Kontraksi kemudian mereda seiring dengan waktu dan berita positive dari sektor lain. Hanya saja, kita tidak pernah tahu sampai dengan batas mana, lonjakan harga minyak hanya menimbulkan kontraksi sementara karena pada akhirnya tingginya harga minyak akan benar-benar menghantam posisi fundamental dari berbagai perusahaan di dunia. Apakah kenaikan output dari mayoritas produsen minyak akan mampu meredakan gejolak harga? Mari kita tunggu response dari OPEC atas tekanan G-8 terkait dengan oil output saat ini.
Saya pribadi tidak melihat sesuatu yang menjanjikan dari kondisi ketiga faktor di atas. Seperti telah saya sampaikan pada postingan terdahulu mengenai resesi di US, makin hari maka potensi terjadinya U-shaped recession semakin terlihat jelas. Dalam postingan tersebut, di akhir artikel saya mengatakan mengenai kemungkinan bursa US kembali terjatuh di akhir Q208 dan kejadian Jumat kemarin telah membuktikan kemungkinan tersebut. Sehingga outlook dari pasar saham global khususnya sampai akhir Q308 masih terlihat gloomy.
Bagaimana dengan pasar saham di Indonesia? Secara overall, kinerja bursa masih diragukan, dugaan saya indeks akan berkisar di 2300-2520 sampai dengan awal Q308. Rasanya tidak ada positive factors yang dapat mengatrol indeks. Namun demikian, bursa kita masih menjanjikan potensi keuntungan yang cukup baik, tinggal strategy kita dalam memilih saham yang tepat.
Teringat pernyataan senior fund manager di Barclays Capital yang mengatakan "“Equity exposure should be narrowed to energy, basic resources, industrial goods and services and – once the write-offs are complete – financials. During inflationary periods, these are the only sectors that deliver positive real returns” - saya pribadi menyarankan untuk tetap bertahan pada saham2 berbasis energy mulai dari komoditi pertambangan, perminyakan, perkebunan kelapa sawit, perdagangan energy dan jasa kontraktor dan alat berat di sektor pertambangan, perminyakan dan perkebunan kelapa sawit.
Bila Senin dan Selasa besok indeks jatuh terkapar maka yang perlu dilakukan adalah menunggu sampai harga saham-saham ANTM, ENRG, BUMI, ELSA, INCO, ITMG, PTBA, PGAS dan MEDC benar2 telah terkapar. Walaupun khusus untuk ENRG dan MEDC rasanya agak berat untuk terkoreksi cukup dalam.
Apa perlu kita adain nonton bareng jatuhnya indeks Senin besok dilanjut dengan nonton bareng piala Eropa pada malam harinya? :))
No comments:
Post a Comment