Bulan February 2009 yang lalu di dalam satu tulisan yang berjudul Worst Than Nothing atau Better Than Nothing? - saya sedikit mengulas mengenai esensi krisis keuangan yang bersumber dari keserakahan, kebejatan moral dan kebohongan terstruktur.
Tulisan kali inipun tidak jauh dari krisis keuangan di US dan tidak jauh pula dari keinginan saya menyatakan kembali bahwa ketiga hal tersebutlah yang telah dan akan terus membawa ekonomi US menyentuh titik terburuk dalam satu dekade mendatang bila pemerintah US dan sebagian besar ekonom US tidak melakukan koreksi kebijakan dan titik pandang pemulihan krisis secara segera. Titik terburuk tersebut adalah malapetaka hyperinflation.
Hyperinflation? Satu hipotesa yang saat ini masih dianggap kecil kemungkinan (atau bahkan tidak mungkin) terjadi oleh sebagian besar ekonom. Saya sendiri termasuk satu dari kelompok yang beranggapan bahwwa potensi terjadinya hyperinflation di US adalah relatif tinggi. Tentu saja ini dengan berbagai asumsi yang mengikuti.
Memang sungguh tidak mudah membayangkan terjadinya hyperinflation di US – membayangkan sebuah negara adidaya dalam satu dekade ke depan dapat terjerembab dan tersungkur dimana nilai mata uangnya merosot drastis, terjadi pengangguran dimana mana, kemiskinan menyebar, negara terperangkap dalam hutang dengan jumlah yang sangat besar, dan sering kali diikuti oleh krisis politik serta krisis social. Mungkin lebih sulit dibanding pada saat 2007 kita membayangkan indeks Dow terkoreksi 50 persen dimana di Maret 2009 ternyata menjadi kenyataan.
Mungkin mendengar argumentasi hyperinflation di US saja, sebagian pihak yang kontra hyperinflation akan segera menyanggah dengan menunjuk bahwa saat ini di pasar saham US telah terjadi bullish market dimana kenaikan indeks Dow dan S&P di 2009 dianggap sebagai tonggak terjadinya pemulihan ekonomi di US. Silahkan saja. Saya pribadi melihat kenaikan itu sebagai bentuk classic bounce in a long-term bear market. Sehingga tidak lama lagi akan indeks mereka akan kembali mengalami penurunan.
Lalu indikasi kuat yang manakah yang memperlihatkan kemungkinan terjadinya hyperinflation?.
Point Pertama dan terpenting adalah kebijakan pemerintahan Obama yang konsisten melakukan defisit spending bahkan lebih agresif dari pemerintahan Bush. Defisit spending terjadi akibat besarnya kebutuhan dana untuk membiayai program stimulus dan pemulihan ekonomi US.
Akibat program stimulus dan pemulihan ekonomi tersebut maka public debt di US per awal semester II 2009 telah mencapai sekitar USD 11.6 trillion. Suatu angka yang luar biasa besar dan perlu diketahui bahwa akumulasi terbesar mulai terjadi sejak tahun 2008 dan masih akan terus berlangsung di tahun mendatang. Di tahun 2008, total biaya bunga atas keseluruhan hutang US adalah USD 452 billion. Angka yang luar biasa besar, tidak terbayang apabila dihitung dalam Rupiah.
Ironisnya, hampir seluruh program stimulus dan pemulihan ekonomi ini dirancang untuk mendapatkan efek pemulihan yang cepat. Caranya adalah dengan meningkatkan konsumsi masyarakat. Boleh dikatakan hanya sedikit program yang dirancang untuk menciptakan kesempatan kerja dalam jangka panjang.
Di dalam suatu perekonomian yang mengalami krisis berkepanjangan maka peningkatan konsumsi tidak memiliki efek multiplier yang kuat terhadap pemulihan ekonomi. Permintaan pasar yang tercipta hanyalah bersifat sementara dan tidak didukung oleh adanya peningkatan pendapatan dari konsumen dalam jangka panjang.
Dalam situasi yang sama, sebagian stimulus diberikan tidak secara gratis melainkan melalui suatu insentif yang dapat digunakan saat membeli produk tertentu seperti program Cash for Clunkers. Akibatnya insentif tersebut dapat menyebabkan sebagian masyarakat terjebak dalam hutang baru tanpa memiliki daya bayar tambahan.
Di sisi lain, program stimulus dan pemulihan ekonomi ini hampir seluruhnya didanai melalui kombinasi antara cetakan uang baru dan pinjaman dari berbagai negara kreditur dimana yang terbesar adalah diberikan oleh China.
Menurut data yang dikeluarkan oleh CIA, per 2008 posisi public debt dari US adalah ranking ke 24 sedangkan Indonesia berada di ranking 77. Di 2008 posisi public debt hanyalah 61 persen dari GDP. Jadi bila menggunakan data yang sama maka public debt US di 2009 telah berada di 10 besar negara dengan ratio public debt terhadap GDP tertinggi. Siapa saja di 10 negara tersebut? Zimbabwe, Japan, Lebanon, Jamaica, Italy, Singapore, Greece, Sudan, Belgium dan Egypt. Hanya beberapa dari negara ini yang saat ini perekonomiannya relatif stabil sisanya dalam keadaan krisis bahkan beberapa dalam keadaan krisis akut. Perlu diketahui bahwa semakin besar hutang suatu negara maka semakin besar pula kemungkinan mata uang negara tersebut mengalami kemerosotan nilai atau devaluasi.
Ada beberapa pertanyaan yang dapat menjadi bahan pertimbangan bersama. Bagaimana cara pemerintahan melakukan pemotongan pengeluaran bila mereka masih akan terus melakukan program stimulus dan pemulihan ekonomi? Darimana akan diperoleh pendanaannya? Bagaimana jika negara kreditur berhenti untuk menyediakan pinjaman? Bagaimana cara pemerintah US membayar hutang serta bunga di waktu mendatang? Apa yang akan terjadi bila efek dari stimulus telah memudar yang berarti konsumsi kembali menurun? Apakah dengan mencetak uang kembali adalah jawaban yang tepat?
Point Kedua adalah pergerakan terjadinya inflasi di US mulai terlihat dengan terjadinya penurunan nilai USD baik terhadap mata uang kuat lainnya maupun terhadap emas. Ini sebenarnya wajar terjadi karena semakin besar hutang yang diciptakan maka secara alamiah nilai matauang akan semakin merosot. Menjadi tidak wajar karena nilai devaluasi semakin membesar dalam hitungan waktu yang semakin singkat. Sehingga ini mengarah kepada potensi terjadinya currency crisis di US dalam beberapa tahun mendatang.
Di sisi lain, merosotnya nilai USD akan menciptakan efek kenaikan harga pada seluruh barang import. Ini pada akhirnya akan menciptakan inflasi yang sesungguhnya di sektor riil melalui kenaikan harga barang dasar. Bila nantinya ditangani dengan memberikan bantuan likuiditas kepada masyarakat maka bantuan tersebut akan kembali menciptakan efek penurunan nilai yang berikut. Sebaliknya bila dilakukan pencegahan kenaikan harga melalui pematokan harga maka akan terjadi kelangkaan barang yang berpotensi membawa harga barang semakin mahal.
Dengan posisi USD relatif terhadap harga emas (dan komoditas lainnya) yang semakin menurun maka akan terjadi kecenderungan pelaku investasi akan beralih dari pasar saham dan matau uang kepada pasar komoditas. Ini akan menyebabkan harga emas semakin mahal (sekaligus mendorong naiknya harga silver, nickel, coal, copper dan komoditi lain) dan sebagai akibat nilai USD akan semakin terdorong ke bawah. Hal ini telah sering dikemukakan oleh Jim Rogers, Marc Faber dan Peter Schiff.
Apa yang akan terjadi bila kebijakan cetak uang terus berlangsung, stimulus terfokus pada peningkatan konsumsi, harga emas dan komoditi melambung dan sektor industri di US tidak mampu bangkit? Bagaimana bila disertai berhentinya dana dari negara kreditur?
Terdekat adalah currency crisis, double digit inflation dan ambruknya pasar saham di US.
Point Ketiga, mari kita lihat unemployment rate di US saat ini. Bila program stimulus dan pemulihan ekonomi selama dua tahun terakhir lebih menekankan kepada sektor produktif ketimbang sektor konsumtif maka seharusnya terjadi penurunan pengangguran secara berangsur. Paling tidak efek tersebut dapat terlihat walaupun mungkin masih kecil. Apakah demikian adanya? Jawabannya adalah tidak.
Unemployment rate yang secara resmi disampaikan terakhir adalah 9.7% pada pertengahan September yang lalu. Banyak pihak menyatakan bahwa angka ini tidak mencerminkan angka sebenarnya. Mengapa? Karena angka ini tidak mengikut sertakan faktor independent contract, faktor pekerja full time yang sekarang bekerja part time dan faktor pengangguran yang berhenti mencari kerja. Sehingga menurut kalkulasi beberapa sumber, bila dihitung semuanya adalah sekitar 17 persen! Mengerikan!
Seberapa parahkah tingkat pengangguran di US bahkan bila dibandingkan dengan tingkat pengangguran di Indonesia di 1998? Mengapa pemerintahan Obama memilih untuk fokus pada health care program dibanding program yang bertujuan untuk menciptakan pekerjaan baru? Bagaimana mungkin dalam setahun mendatang tingkat pengangguran akan mengalami penurunan secara drastis? Apakah kita semua yakin bahwa di 2010 akan terjadi penciptaan kesempatan kerja baru yang luar biasa besar sehingga angka pengangguran berkurang?
Dari ketiga point di atas, maka saya berkesimpulan bahwa bila pemerintahan Obama tidak segera melakukan perubahan drastis di dalam kebijakan stimulus dan pemulihan ekonomi maka dalam waktu tiga sampai lima tahun mendatang negara paman Sam berpotensi tinggi untuk mengalami double digit inflation dengan trend semakin meningkat.
Bila kejadian tersebut tidak ditangani dengan restrukturisasi hutang secara tepat, pemotongan budget secara besar2an dan tidak terjadi kebangkitan di sektor industry maka ekonomi US akan terperangkap dalam hyperinflation.
Secara ringkas...
Apa yang terjadi di Dow dan S&P saat ini adalah classic bounce in the long term bear market - Rising Dow is not a signal of economic recovery - Hanyalah masalah waktu menuju ke bawah kembali
Harga emas dan komoditi lain akan terus meningkat seiring dengan melemahnya nilai tukar USD sebagai mata uang kuat dunia dan mata uang jangkar dalam perdagangan global
Potensi terjadinya currency crisis di US dan double digit inflation dalam 3 sampai 5 tahun mendatang
Terjadinya peralihan investasi secara signifikan dari US dan negara kuat lainnya menuju negara di Asia yang memiliki sumber daya alam kuat
Bursa bursa di Asia terutama di China, India dan Indonesia akan mengalami kenaikan dalam jangka panjang akibat kenaikan harga komoditas dan peralihan lokasi investasi
Obat terbaik bagi pemerintahan dan ekonomi US adalah kembali ke kittah, there is no free lunch in the world, there is no new economic paradigm. Tidak akan mungkin keluar dari perangkap hutang dengan menciptakan setumpuk hutang baru. Akhir dari keserakahan, kebejatan moral dan kebohongan terstruktur hanyalah penderitaan berkepanjangan.
Sunday, October 4, 2009
The Nightmare of Sang Raksasa - Hyperinflation
Labels:
Currency Crisis,
Dow,
Gold,
Hyperinflation,
Indonesia,
Inflasi,
Peter Schiff,
US
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
interesting article!namun buat saya, krisis ini bukan karna faktor greedy/keserakahan manusia. tapi justru di-iniate oleh campur tangan FED sebelumnya atas free market dlm bentuk artificial interest [yg mungkin awal tujuannya sbg insentif] namun malah menyebabkan malinvestment oleh pelaku pasar.
mengatakan greedy manusia sbg penyebab krisis, sama saja. mengatakan penyebab jatuhnya orang dari gedung tinggi karena gravitasi..
anyway, saya sependapat dengan prediksi bung socrates ttg ekonomi US jika govt US tdk segera memperbaiki diri [spt mengurangi Govt spending, membiarkan market melakukan koreksi]
anyway
http://query.nytimes.com/gst/fullpage.html?res=9902E7DD133FF932A35752C1A9609C8B63&sec=&spon=&pagewanted=2
Amerika masih punya " Secret Weapon " yaitu Emas, lihatlah pergerakan emas yang meroket tajam terutama sejak 2008.ketika sudah di ujung tanduk dy tinggal melepaskan atau menggadaikan sepuluh persen emasnya untuk membayar hutang dan belanja rutin negaranya serta menciptakan lapangan kerja. Amerika merupakan negara pemilik emas terbanyak disunia
Post a Comment