Friday, August 17, 2007

Pengembangan pasar obligasi ritel di Indonesia - Mortgage-Backed Securities (MBS) sebagai alternatif terbaik. Bagian Kedua

Pada tahun 1999, ADB telah melaksanakan riset yang berkaitan dengan pengembangan pasar MBS di Asia termasuk di dalamnya Indonesia. Bagi yang ingin membaca hasil riset tersebut, dapat mengunjungi web dari ADB. Riset yang dilakukan oleh Farid Harianto dapat dikatakan sangat baik dan mencakup hampir seluruh aspek terkait.

Namun demikian, setelah kurang lebih delapan tahun dari penerbitan dokumen riset tersebut, sampai dengan saat ini pemerintah Indonesia belum mengambil suatu langkah yang definitif di dalam mengembangkan pasar sekunder dari obligasi ritel. Ironis sekali karena biaya yang dikeluarkan untuk melakukan suatu riset yang mendetil sangat besar, terlepas apakah biaya tersebut dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia atau bukan. (Point yang hendak saya sampaikan adalah betapa sia-sianya suatu hasil karya riset bernilai tinggi di Indonesia).

MBS sebenarnya merupakan produk yang sudah mapan di beberapa negara. Awal kelahiran MBS terjadi di Amerika Serikat yang sekarang produknya dikenal dengan nama (antara lain) Freddie Mac dan Fanny Mae. MBS juga sudah dikenal cukup lama di negara tetangga kita Malaysia.

Jauh sebelum krisis keuangan 1997/8, Malaysia telah memiliki pasar sekunder dari MBS. Pemerintah Malaysia melalui “special agent” yaitu Cagamas telah berhasil menciptakan pasar obligasi ritel yang aktif dan likuid. Keberadaan Cagamas dan pasar sekunder yang aktif juga telah menyelamatkan pasar property Malaysia sewaktu krisis keuangan terjadi. Setidaknya mereka berhasil meredam gejolak pasar property dan mampu meneruskan pembangunan di sektor tersebut (dimana Indonesia selama beberapa tahun, bisa dikatakan industri property lumpuh total).

Pada tahun 2001, International Finance Corporation (IFC) melakukan investasi di Korea Mortgage Corporation (Komoco) dalam menerbitkan MBS yang kemudian diikuti oleh partisipasi dari beberapa bank investasi.

Malaysia dengan populasi hampir 25 juta manusia, Korea dengan populasi 49 juta manusia telah mampu menciptakan satu pasar MBS yang nota bene merupakan pasar obligasi ritel yang terintegrasi. Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia dengan populasi 234 juta manusia dan didukung dengan pasar kredit perumahan yang baik (bahkan hampir seluruh bank nasional memiliki fasilitas kredit perumahan) seharusnya sangat layak untuk segera mengembangkan MBS sebagai alternatif utama guna mengembangkan pasar obligasi di Indonesia.

Kejadian atau kondisi apa yang diperlukan pemerintah untuk segera mewujudkan MBS di Indonesia? 8 tahun setelah publikasi hasil riset apakah tidak cukup? Kenapa malah ORI?

2 comments:

Anonymous said...

Socrates, very good article. Memang ada beberapa hal yang kita pikirkan cukup simple untuk diterapkan di Indnesia tetapi tidak terlaksana. MBS yang seperti Socrates kemukakan adalah salah salah satu contohnya.

Dalam penerapan MBS, menurutku, semua pihak yang terlibat harus menunjukkan kredibilitas yang terukur. Di Amerika, kredibilitas dari finansial institution dan individual bisa diukur dengan jelas karena sejarah kredit (credit history) dan sejarah kejahatan (crime history) tercatat dengan baik. Berdasarkan catatan ini, badan kredit tertentu mempunyai akses untuk mendapatkan informasi dari pihak yang dibutuhkan dengan persetujuan pihak itu.

Saya tidak tahu jelas apakah Indonesia mempunyai system seperti ini? Walaupun system ini sudah in place di AS, tetap saja perkreditan system pada tingkat Fanny Mae dan Freddie Mac serta institusi yang memberikan kredit menemukan masalah pada akhir-akhir ini. Hal ini terjadi pada sektor perkreditan rumah yang mengalami kenaikan dan penurunan harga rumah di luar kewajaran di AS. Bagaimana dengan di Indonesia?

Socrates Rudy Sirait, PhD said...

Hi Beni, thanks for your great comment. Memang untuk mewujudkan pasar MBS di Indonesia dibutuhkan waktu yang panjang, oleh sebab itu harus segera dimulai.

Saya rasa semua industri selalu mengalami gejolak karena sifatnya yang selalu terkait dengan berbagai variabel lain. Demikian juga pasar mortgage di US yang collapse akibat salah satu sub sistem yang tidak berjalan dengan baik.

Sepengetahuan saya, Indonesia sudah memiliki sistem penilaian kredit yang cukup memadai khususnya di kredit perumahan. Ini sebenarnya bisa menjadi salah satu faktor pendukung utk segera dilaksanakannya pengembangan pasar MBS di Indonesia.